Ini Plus Minus Jika RI Berlakukan Cukai Karbon Kendaraan Bermotor

0
1595
Ilustrasi, emisi gas buang karbon dari sebuah mobil - dok.Istimewa

Jakarta, Mobilitas – Pemerintah akan memberi subsidi kendaraan listrik mulai dari Rp 5 juta – Rp 80 juta.

Banyak kalangan di luar pemerintah yang mengusulkan agar pendanaan atau anggaran untuk pemberian subsidi tersebut diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, seperti diungkap Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adinegara, saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Kamis (15/12/2022) APBN saat ini masih “compang-camping”

Pemberian subsidi, kata Bhima, tentu akan membebani anggaran. Pada tahun 2022 ini saja, defisit diperkirakan sekitar 20% atau mencapai Rp 732,2 triliun, padahal pendapatan negara hanya Rp 2.436,9 triliun.

“Salah satu beban terbesar di APBN kita adalah pembayaran bunga utang yang mencapai Rp 403 triliun. Bahkan tahun 2023 nanti, akibat inflasi dan kenaikkan suku bunga, besaran pembayaran utang mencapai Rp 441 triliun. Kalau kondisi seperti ini kemudian penerimaan tidak seimbang, atau bahkan berkurang karena ada subsisi, ya sudah, defisit akan semakin menjadi,” papar Bhima.

Namun, ini bukan berarti tidak boleh memberikan stimulus untuk memacu pemasyarakatan kendaraan listrik dengan subsidi. “Subsidi untuk kendaraan listrik secara ide dan tujuan, itu bagus. Tetapi masalahnya, jangan sampai itu menggangu APBN. Karena itu mencari sumber dari cukai karbon, bisa menjadi solusi,” papar mantan ekonom Indef itu.

Pernyataan senada diungkap Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin. Menurut dia, cukai karbon merupakan double devidend karena selain menjadi sarana untuk mewujudkan kelsatian lingkungan, juga menambah penerimaan negara.

“Cukai karbon merupakan pigouvian tax, yakni pajak untuk mengurangi eksternalitas negatif . Ini adalah instrumen yang tepat, karena secara teori obyek dari cukai adalah produk yang konsumsinya harus dibatasi karena kemiliki dampak negatif,” kata pria yang akrab disapa Puput itu saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Kamis (15/12/2022).

Ilustrasi, pengecasan daya baterai mobil listrik – dok.EV Box Blog

Dengan cukai karbon, maka kendaraan bermotor yang tingkat emisinya lebih tinggi dari standar yang ditetapkan akan dikenai penalti berupa cukai (feebate). Sebaliknya, yang lebih rendah diberi subsidi sesuai dengan besaran selisih emisi karbon yang dihasilkannya dari standar (rebate).

“Jadi ini adil, yang menghasilkan dampak negatif diberi sanksi dan yang mematuhi aturan atau lebih bagus dari standar diberi insentif. Selain itu, dengan cukai karbon ini juga akan menjadi pendorong pabrikan di Indonesia untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Sehingga, target pengurangan emisi karbon di Indonesia akan lebih cepat tercapai. Karena pemerintah kita telah meratifikasi Paris Agreement tahun 2015,” tandas Puput.

Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) – yang merupakan komitmen ke Paris Agreement – terbaru, yang didaftarkan ke UNFCCC pada September 2022, disebut target pengurangan emisi karbonnya naik menjadi 31,89% dengan usaha sendiri, atau 43,2% dengan bantuan internasional.

“Dalam skenario kondisi normal atau business as usual, emisi karbon Indonesia pada 2030 diproyeksikan mencapai 2.869 juta ton karbon dioksida ekuivalen (MTon CO2e),” jelas Puput.

Sementara itu, sumber Mobilitas di Kementerian Perindustrian yang dihubungi di Jakarta, Minggu (18/12/2022) sore mengatakan, selain ada danpak plus, cukai karbon juga memiliki dampak minus. Dia menyebut dampak plusnya seperti yang disampaikan para pengamat itu.

Ilustrasi pengecasan baterai sepeda motor listrik – dok.New Atlas

“Tetapi, dari diskusi kami dengan teman-teman industri otomotif, mereka mengatakan konsekwensi dari cukai karbon itu adalah harga jual mobil yang naik. Sementara, daya beli masyarakat dengan PDB per kapita yang US$ 3.500 – US$ 4.000, itu akan memberatkan. Karena cukai itu yang menanggung konsumen, sebab include di harga. Akhirnya kalau pembeli sepi, industri juga pasti kena dampak juga kan? Apalagi, mayoritas masyarakat masih enggan membeli kendaraan listrik dengan berbagai alasan,” papar dia.

Sebelumnya, dalam siaran Youtube Sekretariat Presiden yang dikutip Mobilitas, di Jakarta, Kamis (15/12/2022) Agus mengatakan besaran subsidi untuk mobil listrik (BEV) Rp 80 juta. Kemudian mobil hybrid Rp 40 juta, motor listrik 8 juta, dan motor listrik hasil konversi Rp 5 juta.

Subsidi itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani,  akan masuk dalam perhitungan APBN 2023. “Seperti yang sudah saya sampaikan, kita akan menghitung. Pertama, kita dukung pembangunan industrinya, (tetapi) kita menghitung dari struktur insentif yang diberikan dampaknya ke APBN, karena itu (subsidi) dimasukan ke 2023,” kata dia kepada mddia usai rapat paripurna di kompleks parlemen, senayan, Jakarta, Kamis (15/12/2022). (Swe/Din/Aa)