Mobility

Insentif Impor BEV Segera Berakhir, Pakar Sebut Sebaiknya Diakhiri Demi Alasan Ini

×

Insentif Impor BEV Segera Berakhir, Pakar Sebut Sebaiknya Diakhiri Demi Alasan Ini

Share this article
Ilustrasi, pengisian daya baterai mobil listrik - dok.Istimewa via Fleetmaxx Solution

Jakarta, Mobilitas – Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan hingga saat ini belum ada pembahasan mengenai kelanjutan regulasi insentif impor mobil listrik di Indonesia untuk tahun 2026. Sementara, sesuai dengan Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023 junto Nomor 1 Tahun 2024 fasilitas yang berlaku saat ini akan berakhir 31 Desember 2025.

“Sampai dengan hari ini, kami informasikan kepada teman-teman semua, kami belum ada sama sekali rapat dengan kementerian/lembaga lain terkait keberlanjutan insentif ini,” kata Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (ILMATAP) Kemenperin, Mahardi Tunggul Wicaksono, dalam diskusi bertajuk Polemik Insentif BEV Impor yang digelar Forwin di Jakarta, Senin (25/8/2025).

Seperti diketahui, sejak Februari 2024 pemerintah menerapkan insentif berupa pembebasan bea masuk dan PPnBM untuk impor mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) dalam wujud utuh (CBU).

Berdasarkan aturan itu, impor BEV CBU dalam rangka tes pasar dengan komitmen investasi mendapatkan insenti bea masuk (BM) 0 persen dari tarif normal 50 persen dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 0 persen dari 15 persen. Dengan demikian, BEV impor cukup bayar pajak 12 persen dari seharusnya 77 persen, sehingga diskonnya mencapai 65 persen.

Diskusi bertajuk Polemik Insentif BEV Impor yang digelar Forwin di Jakarta, Senin 25 Agustus 2025 – dok.Mobilitas

Fasilitas tersebut diberikan disertai syarat produsen pengguna manfaat fasilitas tersebut diwajibkan berkomitmen memproduksi kendaraan di dalam negeri setelah impor dengan rasio 1:1, dengan jaminan bank garansi.

Pada periode 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027, produsen wajib menunaikan komitmen produksi 1:1 itu sesuai roadmap tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), dengan spesifikasi teknis minimal setara atau lebih tinggi, baik dari sisi daya motor listrik maupun kapasitas baterai.

Jika produsen yang bersangkutan gagal memenuhi kewajiban produksinya, maka pemerintah dapat mengeksekusi klaim atas bank garansi dari produsen itu.

“Jadi peraturan yang menjadi dasar kebijakan ini jelas. Ada reward and punishment, karena memang tujuan utama dari kebijakan itu adalah untuk mengkselerasi jumlah populasi BEV serta produksinya di dalam negeri, sekaligus tujun untuk mereduksi tingkat emisi karbon tercapai. Jadi, tujuan untuk membangun industri dengan menjadikan Indonesia sebagai basis industri dan target memenuhi roadmap penurunan emisi atau ekologi juga tercapai, ” kata Tunggul saat ditemui Mobilitas usai acara.

Ilustrasi, baterai mobil listrik – dok.CarNewsChina

Manfaat dan Mudharat Insentif untuk Impor BEV
Sementara, peneliti LPEM Universitas Indonesia, Prof. Riyanto, menyebut insentif BEV impor CBU memang mampu mendorong penjualan BEV pada 2024 dan 2025. Artinya, uji pasar BEV berhasil.

Namun, kata dia, fakta juga memperlihatkan ternyata insentif BEV Impor hanya berdampak ke sektor perdagangan saja yang memiliki efek berganda (multiplier effect) jauh lebih kecil dibandingkan dengan produksi lokal. Hal ini juga membuat utilisasi kapasitas produksi pabrik dalam negeri tidak optimal.

Bahkan, lanjut Riyanto, insentif itu berpotensi menghambat target produksi BEV 400 ribu unit tahun 2025 dan target produksi tahun berikutnya, jika diperpanjang. Insentif ini tidak fair terhadap perusahaan yang telah investasi dan memproduksi BEV di dalam negeri
“Jika insentif ini diperpanjang, akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakkonsistenan kebijakan, kredibilitas kebijakan menurun, menggangu iklim investasi dan tidak sesuai dengan tujuan awal menjadikan Indonesia sebagai basis produksi BEV,” tandas dia.

Sedangkan Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, yang ditemui Mobilitas di tempat yang sama usai acara mengatakan evaluasi sebuh program kebijakan merupakan sesuatu yang wajar dan memang semestinya dilakukn. Karena dengan evaluasi maka akan diketahui efektifitas maupun manfaat serta mudharatnya.

Peneliti Senior LPEM Universitas Indonesia, Riyanto – dok.Mobilitas

“Sehingga, dari situ diketahui apakah program kebijakan itu perlu dihentikan atau dilanjutkan. Dan yang pasti di sektor industri otomotif, tujuan untuk mengembangkan sektor industri otomotif dengan industri turunannya itu sangat penting dan menjadi tujuan utama. Nah, kalau sekarang impor diperbanyak, industri kita seperti apa, informasi saja sekarang kapasitas produksi terpakai industri otomotif sudah turun, hanya sebesar 50 persen dari sebelumnya yang 70 persen (kapasitas produksi industri otomotif sebelumnya mencapai 1,2 – 1,3juta unit per tahun), ” papar Kukuh.

Padahal, industri turunan di sektor ini juga sudah mengalami distrasi seiring dengan kehadiran mobil listrik baterai. Banyak industri komponen pemasok pabrikan yang tutup, kareana jika mobil konvensional membutuhkan puluhan ribu komponen. Kini di mobil listrik hanya ribuan unit saja. (Aa)

Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id