Kemacetan di RI: Jumlah Kendaraan vs Panjang Jalan

Ilustrasi, bus Transjakarta di tengah lalu-lintas kota Jakarta - dok.Biofuels Internatjonal Magazin

Jakarta, Mobilitas – Hasil riset Bank Dunia memperlihatkan tingkat kemacetan di enam kota besar Indonesia telah menyebabkan kerugian ekonomi yang terjadi akibat ketidakefisienan dalam pemanfaatan waktu tetapi juga pemborosan biaya pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM). Pertumbuhan jumlah kendaraan yang tak sebanding dengan pertambahan panjang jalan dituding menjadi salah satu biang penyebab masalah itu.

“Panjang jalan – termasuk jalan tol – dalam beberapa tahun terakhir bertambah pesat. Namun, pertambahan jumlah kendaraan jauh lebih cepat. Masyarakat masih banyak yang enggan menggunakan angkutan massal. Sehingga, di jam-jam sibuk kerja kendaraan menumpuk di jalanan,” ungkap Kepala Subdirektorat Angkutan Perkotaan, Direktorat Angkutan Jalan, Ditjen Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Budi Prayitno, yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, belum lama ini.

Mengutip data riset Bank Dunia, Budi menyebut – sebelum masa pandemi Covid-19 menerpa Indonesia yakni di tahun 2019 – ada enam kota besar di Tanah Air yang memiliki tingkat kemacetan lalu-lintas yang tinggi. Mereka adalah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang- dan Bekasi), Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar.

Kemacetan di salah satu sudut kota Jakarta – dok.Bloomberg.com

“Sementara, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor (mulai dari sepeda motor, mobil, pikap, truk, hingga bus) setiap tahunnya 9,5% sampai dengan 10%,” kata dia.

Pernyataan serupa diungkap Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno. Dengan pertumbuhan jumlah kendaraan yang terus melaju kencang itu, menjadikan pertambahan panjang jalan terasa tetap tak berdampak banyak ke upaya mengurangi kemacetan.

“Karena kemacetan ini, Bank Dunia menyebut ada kerugian ekonomi hingga Rp 71,4 triliun setiap tahun. Ini dikarenakan pemborosan penggunaan bahan bakar yang terbuang percuma karena kendaraan harus berada di kondisi kemacetan di jalan,” papar pengajar Fakultas Teknik Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, itu saat dihubungi Mobilitas belum lama ini.

Kemacetan lalu-lintas di Jakarta – dok.The Jakarta Post

Kendaraan dan panjang jalan
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Djoko menyebut hingga tahun 2019 lalu (sebelum pandemi Covid-19) jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 133 juta unit lebih.

Dari jumlah tersebut, 112.771.136 unit diantaranya sepeda motor, lalu 15.592.419 unit mobil penumpang, 5.021.888 unit mobil barang (pikap, van, hingga truk), dan 231.569 unit bus.

Sedangkan panjang jalan (terdiri dari jalan beraspal dan tidak beraspal) di Tanah Air hingga akhir tahun 2019 mencapai 544. 474 kilometer. Lintasan jalan sepanjang itu terdiri dari jalan beraspal 325.606 kilometer dan non aspal 218.868 kilometer.

Bus Transjakarta – dok.Media Indonesia

“Coba kita lihat pertambahannya. Pada tahun 2017 total panjang jalan itu masih 539.353 kilometer. Lalu bertambah di 2018 sehingga menjadi 542.310 kilometer, dan di tahun 2019 menjadi 544. 474 kilometer,” jelas Djoko.

Baik Djoko maupun Budi Prayitno menyatakan, solusi dari kemacetan ini adalah kesadaran dan kemauan masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum massal.

“Tetapi yang perlu dicatat adalah, bagaimana operator angkutan dan pemerintah memberikan jaminan angkutan massal itu selain cepat, aman, dan nyaman juga harus mencapai titik-titik terdekat asal dan tujuan para komuter atau masyarakat yang biasa bepergian,” imbuh Djoko. (Swe/Din/Aa)