Jakarta, Mobilitas – Pendekatan secara gradual dalam transisi menuju elektrifikasi sarana mobilitas atau kendaraan masyarakat untuk mewujudkan pengurangan emisi karbon hingga netral dinilai lebih tepat diterapkan di Indonesia pada saat ini.
Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Riyanto, mengatakan fakta terkini memang memperlihatkan kinerja penjualan mobil listrik baterai (BEV) di Indonesia meningkat pesat. Terutama di tahun 2025 ini, khususnya di periode Januari – April.
“Bahkan di periode Januari – April 2025, penjualan BEV (dari pabrik ke dealer atau wholesales) di Indonesia sudah di atas mobil hybrid (HEV). Dan memang harus diakui banyaknya insentif untuk BEV yang diberikan pemerintah menjadi daya tarik sendiri bagi konsumen. Ini yang membuat penjualan, meski juga harus diakui semkin banyaknya jumlah merek yang berjualan di Indonesia,” papar Riyanto saat ditemui Mobilitas usai diskusi bertajuk “Menakar Efektivitas Insentif Otomotif” bersama Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (19/5/2025).
Riyanto menyodorkan bukti data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gakindo) yang memperlihatkan, pada tahun 2024 lalu, total penjualan BEV masih 43.000 unit, dan HEV sebanyak 60.000 unit. Tetapi di periode Januari – April 2025, total penjualan bEV telah mencapai sekitar 24.000 unit, dan HEV sekitar 18.500 unit.
Meski begitu, Riyanto mengingatkan agar pemerintah tidak terlena dengan fakta tren penjualan BEV. Menurutnya, strategi transisi menuju elektrifikasi kendaraan di Tanah Air dalam rangka mengurangi emisi menuju netral karbon menggunakan pendekatan gradual.
“Sebab, jika menggunakan pendekatan frog leap atau lompatan katak langsung ke BEV secara penuh justru akan produktif. Setidaknya ada beberapa alasan. Diantaranya, bisa menimbulkan guncangan hebat pada industri otomotif dan turunannya terutama industri komponen, shock di masyarakat karena bukan hanya harga BEV masih belum terjangkau sebagian besar masyarakat,” jelas Riyanto.
Selain itu, kebiasaan berkendara sebagian besar masyarakat juga harus dipertimbangkan, terlebih jaringan infrastruktur belum merata dan meluas. “Oleh karena itu dengan pendekatan gradual dan memberikan banyak pilihan kepada masyarakat mulai dari LCGC, HEV, plug-in hybrid (PHEV), BEV, bahkan kendaraan berbahan bakar alternatif seperti ethanol dan hidrogen lebih pas.
Terlebih, kini pabrikan kan terus berlomba membuat teknologi yang menjadikan mobil irit bahan bakar,” tandas Riyanto.
Pernyataan serupa diungkap Sekretaris Jenderal Gaikindo, Kukuh Kumara, yang ditemui di tempat yang sama. ‘Ya, saat ini pendekatan multi pathway itu telah kita jalankan. Semua pabrikan dipersilahkan memberikan pilihan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan keinginan mereka. Tetapi, tentunya semua kendaraan itu hraus sewuai dengan tuntutan zaman yaitu irit bahan bakar. Kalau irit BBM kan berarti tingkat emisinya juga lebih rendah,” papar Kukuh.
Agar tujuan mewujudkan tren kendaraan yang lebih ramah lingkungan dengan indikatoe tingkat emisi karbon yang rendah, maka diberikan insentif fiskal berdasar tingkat emisi.
“Sehingga, pabrikan akan terpacu untuk menghsilkan teknologi yang menjadikan mobil irit bahan bakar agar dapat insentif, dan harganya murah sehingga menarik minat konsumen. Termsuk kendaraan hybrid, jadi pemerintah tidak melupakan hybrifd,” kata Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mahardi Tunggul Wicaksono yang ditemui di tempat yang sama. (Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id