Jakarta, Mobilitas – Pemerintah akan mengevaluasi insentif mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) pada akhir 2025. Hal itu sesuai kebijakan insentif impor BEV (mobil listrik berbasis baterai) berwujud completely built up (CBU) untuk tes pasar.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mahardi Tunggul Wicaksono mengatakan evaluasi tersebut untuk mengetahui sejauhmana realissi komitmen yang dijanjikan pabrikan untuk memproduksi BEV mereka di Tanah Air.
“Untuk mendapatkan insentif produsen BEV menyatakan komitmen produksi 1:1 dengan spesifikasi minimal sama untuk mendapatkan beberapa insentif, serta membuka bank garansi dan . Sekarang yang akan kita evaluasi bagaimana perkembangannya. Apa saja yang sudah dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan untuk merealisasikan komitmennya itu, apakah membangun pabrik dan lain-lain,” papar Tunggul yang ditemui Mobilitas usai diskusi “Menakar Efektivitas Insentif Otomotif,” yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (19/5/2025).
Jika ternyata realisasinya meleset dari komitmen yang telah disepakati, maka bank garansi dari perusahaan yang bersangkutan harus dibayarkan kepada pemerintah. Sekadar informasi bank garansi adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan sebuah perusahaan nasabah bank untuk menjamin kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada pihak penerima jaminan.
Jika perusahaan itu gagal memenuhi kewajibannya, bank akan mengambil alih kewajiban tersebut dan membayarkannyaa kepada pihak penerima jaminan. “Dalam hal ini, bank garansi produsen BEV yang bersangkutan akan dibayarkan ke pemerintah. Dan selanjutnya, untuk impor mobil listrik CBU itu tanpa insentif,” kata Tunggul.
Kebijakan pemberian insentif untuk impor BEV CBU itu didasari Perpres Nomor 79 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 6 tahun 2023. Di dua beleid tersebut dinyatakan impor CBU BEV hanya berlaku sampai 31 Desember 2025.
Setelah itu para pabrikan yang telah menerima insentif impor ini diwajibkan untuk memproduksi lokal mobil listrik dengan tenggat waktu sampai 31 Desember 2027. “Jadi semuanya ada aturan yang fair, dan sudah disepakati,” tegas Tunggul.
Sementara itu, data berbicara, hingga April 2025, penjualan BEV baru mencapai 23 ribu unit, bahkan jika disetahunkan mencapai 63 ribu unit. Jumlah tersebut masih jauh di bawah target kuantitatif produksi BEV yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 6 Tahun 2022 yang sebanyak 400 ribu unit, dan pada tahun 2030 serta tahun 2040 yang sebanyak 600 ribu unit dan 1 juta unit.
Sebelumnya, peneliti senior LPEM UI, Riyanto, saat diskusi mengusulkan agar pemerintah memperluas insentif fiskal bagi mobil berdasarkan tingkat emisi. Menuut dia hybrid electric vehicle (HEV) dan LCGC layak diberikan PPN DTP, meski dengan besaran lebih rendah dari BEV.
“Apalagi, nilai tambah pemberian insentif ke HEV dan LCGC bakal lebih besar dibandingkan BEV. Sebab, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) HEV dan LCGC jauh di atas BEV, yakni 50 persen lebih, dibandingkan BEV yang paling besar hanya 40 persen,” ujar Riyanto. (Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id