Pengamat: Ini Penyebab BBM Subsidi Selalu Tak Tepat Sasaran

0
1670
Ilustrasi, nozzle BBM - dok.Freepik

Jakarta, Mobilitas – Pemerintah resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut setidaknya ada dua alasan penaikkan harga BBM subsidi tersebut. Pertama, kata dia, anggaran atau biaya untuk subsidi BBM saat ini telah meningkat hingga tiga kali lipat.

“Saya sebetulnya ingin harga BBM tetap terjangkau dengan memberi subsidi dari APBN.Tapi anggaran sekarang sudah naik tiga kali lipat. Kalau sebelumnya anggaran subsidi BBM ini masih Rp 152,5 triliun, sekarang sudah Rp 502,4 triliun,” ungkap mantan Managing Director Bank Dunia itu saat memberi keterangan pers di Jakarta, Sabtu (3/9/2022).

kedua, penyaluran BBM subsidi ternyata tidak tepat sasaran. Pasalnya, sekitar 80% pengguna BBM tersebut adalah orang-orang yang mampu atau bukan yang semestinya berhak.

Kini, harga BBM jenis Pertalite Rp 10 ribu per liter dan solar Rp 6.800 per liter. Sedangkan harga BBM non subsidi jenis Pertamax Rp 14.500 per liter.

Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri menyebut penyaluran yang menggunakan mekanisme kuota. Sehingga harga jualnya selalu berada di bawah harga yang terbentuk oleh pasar.

“Sementara, siapun pun orangnya, kalau ada yang lebih murah ya tentu akan pilih yang lebih murah lah. Apalagi, tidak ada dasar untuk melarang (orang mampu). Sehingga, sampai kapan pun tidak akan tepat sasaran. Karena itu mekanisme kuota mestinya diubah,” papar dia saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Sabtu (3/9/2022).

Ilustrasi, proses pengisian BBM Pertalite ke mobil di sebuah SPBU Pertamina – dok.Istimewa

Sedangkan agar APBN tak jebol karena permintaan BBM Subsidi melonjak, Faisal menyarankan agar digunakan mekanisme fiskal alias instrumen perpajakan, berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11%. Pajak dikenakan ketika harga minyak mentah dunia melonjak.

“Sehingga, orang mau beli berapa pun tidak masalah. Karena hasil dari pajak itu bisa untuk menambah anggaran kalau harus menambah stok atau disalurkan ke rumah tangga tak mampu sebagai kompensasi, sehingga APBN tidak nombok,” ujar Faisal.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatawarta, yang dihubungi Mobilitas, Senin (22/8/2022) mengatakan hingga Juli lalu konsumsi Pertalite mencapai 16,8 juta kiloliter. Padahal, kuota hingga akhir tahun hanya 23,1 juta kiloliter.

“Artinya, masih tersisa 6,3 juta kiloliter untuk Agustus sampai Desember,” kata Isa. (Jap/Swe/Aa)