Banyak Insentif Tapi Penjualan Kendaraan Listrik di RI Lemot, Ternyata Ini Penyebabnya

0
54
Ilustrasi, pengecasan baterai mobil listrik - dok.Istimewa

Jakarta, Mobilitas – Padahal sejumlah kebijakan yang dimaksudkan untuk memacu percepatan peralihan penggunaan kendaraan konvensional (bermesin pembakaran internal) ke listrik terus digulirkan.

Tercatat pada Maret 2023 pemerintah merilis kebijakan pemberian insentif yakni insentif fiskal dalam rangka program percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KLBB). Wujudnya berupa tax holiday selama 20 tahun untuk membangun dan memperkuat ekosistem kendaraan listrik.

Kemudian super deduction hinggga 300 persen untuk Pusat Penelitian dan Pengembangan (R & D), pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk impor mesin dan perlatan pabrik kendaraan listrik, dan pembebasan bea masuk impor kendaraan Completley Knock Down (CKD).

Selain itu, pemerintah memberikan dana bantuan pembelian (atau yang oleh masyarakat umum disebut subisidi pembelian) sepeda motor listrik senilai Rp 7 juta, dan Rp 100 juta untuk pembelian mobil listrik. Namun ternyata, serangkaian kebijakan itu tidak serta merta membuat penjualan kendaraan listrik langsung melejit.

“Sampai dengan akhir tahun 2023 kemarin, jumlah kendaraan listrik (baik roda dua maupun empat, dengan teknologi hybrid hingga listrik baterai) yang beredar di Indonesia baru sebanyak 108.000-an unit. Artinya masih jauh dari target populasi yang ditetapkan oleh pemerintah (tahun 2025 sebanyak 400.000 unit),” papar pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi saat dihubungi Mobilitas dari Jakarta, Selasa (20/2/2024).

Ilustrasi, sepeda motor listrik Yadea – dok.Mobilitas

Menurut Fahmy, serangkaian kebijakan bersifat insentif yang diberikan pemerintah sejak tahun 2017 itu boleh saja dilanjutkan. Namun, mengubah persepsi dan perilaku masyarakat harus jauh lebih intensif dilakukan.

“Sebab, mayoritas masyarakat masih beranggapan menggunakan kendaraan listrik tidaklah seaman kendaraan dimana jika kehabisan bahan bakar masih gampang menemukan BBM baik di SPBU maupun eceran. Msayarakat juga menganggap dengan berkendaraan kendaraan konvensional lebih percaya diri, apalagi di daerah-daerah yang kondisi geografisnya sulit,,” papar Fahmy.

Selain itu, masyarakat juga beranggapan biaya servis kendaraan listrik, terutama jika baterai telah aus akan jauh lebih mahal. Fakta lain juga menunjukkan, masyarakat beranggapan kendaraan listrik tidak seperti kendaraan biasa ketika dijual kembali masih memiliki nilai yang cukup tinggi.

“Jadi perubahan persepsi dan perilaku masyarakat sangat penting untuk dilakukan,” tandas Fahmy. (Rud/Aa)