Jakarta, Mobilitas – Penolakan base fuel (BBM dasar) Pertamina oleh Produsen BBM/SPBU swasta ini juga mengindikasikan penolakan atas buruknya spesifikasi base fuel Pertamina. Ini tidak lepas dari preseden setelah lebih dari 20 tahun Pertamina bertahan hanya mengimpor base fuel dengan kualitas rendah.
“Sehingga, (Pertamina) tidak mampu memproduksi dan memasarkan BBM dengan spesifikasi yang sesuai dengan kebutuhan teknologi kendaraan bermotor yang saat ini diadopsi oleh Indonesia berdasarkan peraturan perundangan,” ungkap Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, dalam keterangan resmi yang diterima Mobilitas, di Jakarta, Sabtu (4/10/2025).
Sejatinya, pemanfaatan ethanol dengan kualitas layak untuk bahan bakar (Fuel Grade Ethanol/FGE) untuk campuran bahan bakar bertujuan untuk mendongkrak angka oktan atau RON (Research Octane Number). Dan fakta ini tidak dibantah siapapun.
Terlebih sejak 2006 hampir semua varian kendaraan sudah diproduksi dengan mengantisipasi penggunaan biofuel termasuk ethanol. Sebab, penggunaan ethanol terbukti bisa menghemat energi sekaligus menekan emisi gas buang kendaraan.
“Baik emisi pencemaran udara (PM10, PM2.5, HC, CO, SOx, NOx) maupun emisi Gas Rumah Kacar (CO2),” jelas pria yang akrab disapa Puput ini.
Hanya, ethanol yang memenuhi persyaratan sebagai campuran bahan bakar (FGE) harus memiliki kemurnian 99 persen. Untuk menghasilkan FGE, diperlukan proses pemurnian untuk menghilangkan kandungan air pada campuran etanol.
Masalahnya base fuel Pertamina yang telah dicampur ethanol itu dinilai tidak tepat oleh SPBU swasta. Sebab, meracik BBM dengan spesifikasi tertentu yang akan mereka produksi dengan menggunakan raw material yang bukan murni sebagai base fuel itu sulit.
Keberadaan ethanol pada base fuel telah mengaburkan sifat kimia dan fisika base fuel sebagai raw material utama untuk proses produksi BBM dengan spesifikasi tertentu.
“Kesulitan teknis ini akan berimplikasi pada peningkatan biaya produksi, apalagi prosentase ethanol pada bensin tersebut juga memiliki konsekuensi peningkatan biaya. Sehingga secara bisnis ini sangat berpengaruh pada HPP (Harg Pokok Penjualan) dan selling pricing, di mana harga jual cenderung menjadi lebih mahal, ” kata Puput. (Anp/Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id