Klakson Telolet Dilarang Karena Berpotensi Memicu Bahaya, Ini Kata KNKT

0
350
Ilustrasi, sebuah bus - dok.Istimewa

Jakarta, Mobilitas – Direktorat Sarana Transportasi Direktorat Jenderal Kementerian Perhubungan (Ditjen Hubdat) menghimbau agar para penguji kendaraan tidak meluluskan kendaraan (termasuk bus) yang menggunakan klakson telolet.

Direktur Sarana Transportasi Ditjen Hubdat Kemenhub, Danto Restyawan, yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Jumat (22/3/2024) menegaskan himbauan tersebut dikarenakan adanya beberapa peristiwa kecelakaan yang terkait dengan penggunaan klakson seperti itu.

“Klakson telolet saat ini memang menjadi tren di mana-mana. Bahkan viral, karena menarik perhatian masyarakat terutama anak-anak agar pengemudi kendaraan membunyikannya dan itu menjadi hiburan. Tetapi, di balik itu ada potensi bahaya. Karena umumnya, anak-anak yang minta klakson dibunyikan mendekat dan mengikuti bus, bahkan di depan bus yang tengah berjalan. Dan kasus yang terakhir terjadi adalah tertabraknya anak usia lima tahun yang meminta bus membunyikan klakson telolet (di Merak, Banten),” papar Danto.

Oleh karena itu, kata Danto, pihaknya membuat surat edaran dan dikirim ke semua Perusahaan Otobus (PO) agar tidak menggunakan klakson jenis itu. Terlebih, lanjut dia, klakson telolet yang suaranya nyaring dan kencang berpotensi melanggar ketentuan.

“Aturannya sudah jelas, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Pada pasal di PP itu dijelaskan suara klakson paling rendah 83 desibel dan paling kecang 118 desibel. Nah, klakson telolet sepertinya melebihi batasan itu. Oleh karena itu, harus diperiksa. Kami minta Dinas Perhubungan yang melakukan uji kendaraan tidak meluluskan kendaraan yang melanggar. Kepada kepolisian kami juga meminta agar menindaknya,” papar Danto.

Ilustrasi, sebuah bus dengan chassis dari Hino- dok.HMSI

Terlebih, penggunaan klakson telolet juga menyimpan potensi bahaya lain, yakni kendaraan (bus maupun truk penggunanya kehabisan angin sehingga rem mereka berpotensi blong. “Itu rekomendasi dari KNKT,” tandas Danto.

Sementara itu, Investigator Senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Ahmad Wildan yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Jumat (22/3/2024) membenarkan ucapan Danto. Menurut dia, secara teknis penggunaan klakson telolet tersebut menggunakan tekanan angin.

“Sehingga, ketrika angin digunakan untuk klakson secara terus menerus dan berulang dalam waktu yang sama, maka tekanan akan berkurang. Nah, pada saat yang bersaamaan bus atau truk pengguna klakson itu harus melakukan pengereman mendadak, maka berpotensi rem akan kehabisan tekanan angin sehingga blong. Jadi, yang harus dipahami disini adalah pengguna klakson telolet yang berulang dan kendaraan di saat yang sama harus melakukan pengereman,” papar Wildan.

Selain itu, klakson sejatinya adalah komponen yang berfungsi sebagai sarana komunikasi antara kendaraan dengan kendaraan lainnya di jalan yang sama. Konuikasi bahasa isyarat itu untuk memberitahu keberadaan dan tujuan lain.

Ilustrasi, bus ber-chassis Scania dengan karoseri garapan Laksana – dok.Mobilitas

“Misalnya, agar orang atau kendaraan lain berhatohati. Atau memberi jalan, dan sebagainya yang intinya adalah untuk komunikasi sehingga tidak terjadi kasus kecelakaan. Oleh karena itu, ada aturan tentang klason itu, termasuk tingkat kekecangannya di PP Nomor 55 Tahun 2012 itu. Oleh karena itu, kita kembalikan ke fungsi yang sebenarnya sesuai aturan,” papar Wildan.

Sebab, selama ini penggunaan klakson telolet bukan lagi sekadar sebagai bahasa isyarat untu sarana komunikasi, tetapi menjadi hiburan. Karena fungsi itu, banyak orang justeru mendekati kendaraan secara beramai-ramai. “Tentu ini sangat membahayakan,” tandas Wildan. (Anp/Jap/Aa)