Penjualan Mobil Listrik 2023 di RI Dibanding Thailand Njomplang, Ini Penyebabnya

0
38
Ilustrasi, pengecasan daya baterai mobil listrik - dok.Istimewa

Jakarta, Mobilitas – Secara umum tren penjualan mobil dengan sumber tenaga berteknologi setrum di kedua negara tahun ini sama-sama mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang dinukil Mobilitas, di Jakarta, Selasa (28/11/2023) menunjukkan sepanjang Januari – Oktober tahun ini sebanyak 51.831 mobil elektrifikasi (terdiri dari mobil listrik baterai, hybrid, dan plug-in hybrid) terjual di Tanah Air. Jumlah ini meroket 322 persen dibanding jumlah mobil berteknologi setrum yang terjual di sepuluh bulan pertama 2022.

Namun, dari jumlah itu ternyata mobil jenis hybrid yang paling banyak laku yakni 39.911 unit atau 77 persen dari total penjualan mobil elektrifikasi di Indonesia. Terbanyak kedua adalah mobil listrik baterai (BEV), dengan total 11.910 unit atau 22,97 persen dari total penjualan mobil bersumber tenaga dengan teknologi setrum.

Ketiga, plug-in hybrid (PHEV). Mobil jenis ini laku sebanyak 94 unit di Tanah Air selama sepuluh bulan pertama tahun ini. Jumlah penjualan tersebut setara dengan 0,18 persen dari total penjualan mobil elektrifikasi.

Lantas bagaimana dengan penjualan mobil jenis itu di Thailand di kurun waktu yang sama? Data Federasi Industri Thailand (FTI) Klub Otomotif yang dinukil Mobilitas, di Jakarta, Selasa (28/11/2023) memperlihatkan mobil hybrid yang terlego selama Januari – Oktober 2023 di negara itu mencapai 71.276 unit, meningkat 42 persen dibanding periode sama pada 2022.

Ilustrasi, mobil listrik murni Toyota bZ4X yang dijual di Indonesia dan Thailand – dok.Istimewa

Kemudian mobil listrik murni (BEV) terjual sebanyak 56.119 unit. Sementara mobil PHEV terlego sebanyak 1.738 unit, menyusut 2,1 persen dibanding sepuluh bulan pertama di tahun lalu.

Lantas, apa yang menjadikan penjualan mobil elektrifikasi di Negeri Gajah Putih itu jauh lebih moncer dibanding di Indonesia? Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, yang dihubungi Mobilitas, di Jakarta, Selasa (28/11/2023) mengatakan sedikitnya ada tiga yang menyebabkannya.

“Pertama, karena kebijakan pemberian insentif untuk pembelian maupun pajak kendaraan ramah lingkungan di sana sudah gencar diberikan oleh pemerintah sejak beberapa tahun lalu,” ujar dia.

Kedua, ekosistem sudah lebih terbentuk. Hal ini dibuktikan sudah beberapa pabrikan mobil listrik yang memproduksi mobil elektrifikasi (mulai dari listrik hybrid hingga BEV) di negara itu. Begitu pun dengan terus membaiknya infrastruktur pengecasan daya baterai.

Ketiga, adanya pemahaman dari konsumen atau masyarakat, biaya operasional kendaraan elektrifikasi ternyata lebih murah ketimbang kendaraan konvensional berteknologi pembakaran internal. Sebab, ternyata biaya pengecasan baterai lebih murah ketimbang bahan bakar. (Din/Aa)