Buntut Kecelakaan Gran Max di KM 50 Tol Japek, Dugaan Travel Ilegal Mencuat

0
600
Ilustrasi, angkutan travel ilegal - dok.Istimewa via The Road Safety Solution

Jakarta, Mobilitas – Organisasi Angkutan Darat (Organda) menduga mobil yang mengalami kecelakaan saat melibasi jalur contra flow di Kilometer (KM) 58 jalan tol Jakarta – Cikampek itu unit travel yang beroperasi secara ilegal.

Ketua Bidang Angkutan Orang Organda, Kurnia Lesani Adnan yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Selasa (9/4/2024) mengatakan, dugaan itu didasari sejumlah fakta yang memcuat dari pemberitaan yang ada sampai saat ini.

“Informasi dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh aparat kepolisian sampai saat ini menyebut dari 12 orang korban meninggal yang merupakan penumpang dan pengemudi mobil itu memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang berbeda-beda. Ini bisa diartikan, antara satu dengan lainnya bukanlah satu keluarga, dan bukan sekelompok orang yang tinggal dalam satu area. Ini patut diduga, mereka adalah penumpang dari area yang berbeda-beda dalam satu mobil angkutan yang sama,” papar Lesani.

Kedua, dari kesaksian sejumlah orang (terutama supir bis Primajasa yang ditabrak mobil itu) menyebut penyebab kecelakaan itu diakibatkan minibus Daihatsu Gran Max itu oleng. Mobil mengalami olen, diduga supir mengantuk.

“Dugaan kami, supir sebelumnya telah berkeliling menjemput calon penumpang di beberapa tempat yang berbeda. Sehingga, ketika melaju di jalan tol sudah terserang rasa kantuk. Jika itu benar, maka dugaan bahwa mobil ini merupakan travel, benar adanya,” ujar Lesani.

Iludstrasi, angkutan travel resmi- dok.Pure Travel

Dugaan bahwa mobil itu merupakan travel yang dioperasikan secara ilegal, terlihat dari pelat nomor yang digunakan merupakan pelat nomor hitam. Artinya, mobil itu merupakan mobil pribadi, dan bukan angkutan umum sebagaimana travel yang memiliki izin resmi.

“Oleh karena itu, kami meminta kepada aparat penegak hukum untuk menelusiri dan mengusut dugaan ini. Kemudian, memberantas praktik operasi travel ilegal, Sebab, praktik seperti itu bukan hanya merugikan pelaku usaha travel resmi, tetapi juga merugikan masyarakat. Kalau terjadi kecelakaan tentunya, santunan yang diberikan Jasa Raharja dipertanyakan. Sebab, travel ilegal kan tidak membayar iuran ke Jasa Rajarja, jadi santunan yang diberikan berasal dari iuran pengusaha travel resmi. Jadi apakah seperti itu adil?,” papar Lesani.

Lesani menyebut praktik travel ilegal sejatinya telah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu. Namun, praktik seperti itu tidak pernah diberantas secara serius.

“Razia travel ilegal terjadi pada tahun 2022, ketika ada larangan mudik akibat pandemi Covid-19. Aparat merazia dan menahan mobil-mobil yang diduga sebagai angkutan travel ilegal. Tetapi, sekarang bagaimana? Angkutan ilegal itu ternyata masih berpraktik dan tumbuh subur. Jadi jujur saja, kami juga mempertanyakan law enforcement terhadap parktik bisnis ilegal itu,” tandas Lesani.

Sementara, hasil penelusuran Mobilitas di wilayah Kota Tangerang, Kabuopaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan, ditemukan banyak mobil jenis minibus yang diduga travel tak resmi itu. Mereka berpelat BE, BA, dan AB yang mengangkut pemudik ke berbagai kota tujuan.

Mengemudi mobil di saat pagi hari – dok.Istimewa

“Kalau minibus angkutan travel ini, bukan hanya beroperasi di saat mudik Lebaran saja Bang. Tetapi juga hari biasa,” ungkap seorang pedagang di Pasar Tanah Tinggi, Kota Tangerang, Darwis (bukan nama sebenarnya) yang ditemui Mobilitas, Selasa (9/4/2024).

Angkutan tersebut, lanjut Darwis, beroperasi karena telah memiliki pelanggan setia. Mereka umumnya menawarkan jasa melalui grup-grup komunitas tertentu dengan menggunakan aplikasi WhatsApps.

“Jadi, mereka tinggal jemput saja calon penumpangnya. Pasarnya sudah ada, kalau enggak gitu mana mereka mau berkeliling mencari calon penumpang seperti angkutan kota. Mereka dipilih karena tarifnya lebih murah dan dijemput di tempat,” tandas Darwis. (Jan/Aa)