Soal Debt Collector Tarik Kendaraan Jaminan Kredit, Ini Kata Asosiasi Leasing

0
474
Ilustrasi, proses penagihan hutang oleh debt collector - dok.Istimewa

Jakarta, Mobilitas – Dalam beberapa hari terakhir publik Indonesia digegerkan oleh aksi oknum polisi menemnbak dua orang penagih utang alias debt collector (DB) karena mobil sang oknum disebut telah menunggak membayar cicilan selama dua tahun.

Sontak profesi DB berikut sepak terjang mereka dalam menjalankan tugas mereka kembali ramai disorot masyarakat. Menanggapi hal itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan dia tidak membenarkan jika ada DB yang bertindak seperti itu.

“Apalagi kalau bertindak arogan dan melakukan kekerasan fisik. Tentu hal seperti itu tidak dibenarkan,” ungkap Suwandi saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Jumat (29/3/2024).

Namun, Suwandi meminta masyaraat juga memahami dan menghormati tugas dan peran seorang DB. Sebab, mereka bertugas atas dasar penugasan yang berdasar Undang-Undang (UU), yakni UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Ilustrasi, kredit mobil – dok.Practical Motoring

“Jadi dasarnya itu kuat. Karena di pasal 30 dalam Undang-undang itu menyatakan pemberi fidusia (debitur kredit) wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia (dari nasabah kredit yang wanprestasi atau gagal bayar),” kata Suwandi.

Bahkan di pasal 15 ayat 3 di UU Nomor 22 Tahun 1999 itu, lanjut Suwandi, ditegaskan apabila debitur cidera janji, maka penerima fidusia (perusahaan pembiayaan) mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaanya sendiri.

“Jadi, pasal dan ayat ini menjadi dasar yang sangat kuat bahwa perusahaan pembiayaan selaku penerima jaminan fidusia boleh menyita barang jaminan itu dan tidak perlu ke pengadilan,” tandas Suwandi.

Dengan fakta itu, Suwandi meminta masyarakat yang menggunakan jasa lembaya pembiayaan untuk membiayai kredit pembelian barang mereka – termasuk kendaraan bermotor – agar memahami tugas dan peran itu. Sebab, kata Suwandi, mereka adalah bagian dari upaya lembaga pembiayaan dalam menjaga kinerja operasional lembaga pembiayaan agar tetap bertahan.

Ilustrasi, hutang yang berupa kredit barang – dok.Istimewa

“Karena barang jaminan itu menjadi aset bagi perusahaan pembiayaan. Kalau ada kredit macet lalu asetnya tidak bisa digunakan untuk untuk menutup kerugian akibat kredit macet karena masih di tangan debitur, perusahaan pembiayaan kan meruginya semakin besar. Padahal, mereka juga harus membayar ke pihak lain pemberi dana seperti bank atau lainnya. Kalau perusahaan pembiayaan gagal bayar, maka bank juga rugi. Jadi ada dampak yang berantai,” papar Suwandi.

Oleh karena itu, dia juga meminta agar oknum-oknum nasabah bermasalah yang sengaja tidak mau membayar tagihan angsuran kredit juga diperhatikan. “Jadi, kalau kita beri sanksi dengan menyita barang jaminan bisa dipahami,” tandas Suwandi. (Jat/Aa)